Friday, October 24, 2008

Dalam berinvestasi apapun berbagai risiko yang bisa mempengaruhi tingkat keuntungan atau mengalami kerugian selalu akan menjadi pertimbangan bagi investor. Sebanyak mungkin faktor risiko yang mungkin akan mempengaruhi tingkat keuntungan dalam investasi saham harus selalu dideteksi agar seluruh gerak pasar bisa diantisipasi.

Untuk itu penasihat investasi dan investor professional sekalipun selalu mencari informasi yang relevan dengan kondisi pasar. Di pasar modal, setidaknya risiko yang patut dicermati investor secara umum, antara lain risiko inflasi, risiko tingkat suku bunga, risiko pasar, risiko perusahaan dan risiko politik. Masing-masing risiko tersebut ada kalangan saling kait mengkait, dan berjalan secara dominan. Namun adakalanya sama sekali tidak berhubungan.

Dari risiko tersebut yang selalu berhubungan adalah risiko inflasi. Biasanya begitu diketahui inflasi tinggi, akan diikuti dengan kebijakan perubahan tingkat suku bunga. Logikanya inflasi tinggi, dapat dipastikan nilai uang turun. Turunnya nilai uang, bisa karena jumlah uang yang beredar di masyarakat lebih melimpah. Untuk itu sehingga agar mobilitas uang yang beredar turun biasanya akan diikuti dengan kenaikan tingkat sukubunga, naiknya tingkat sukubunga dengan sendirinya akan membawa dana-dana kembali sistem perbankan, sehingga pada gilirannya bursa saham akan turun.

Risiko Inflasi

Dalam industri finansial khususnya dalam ekonomi berbasis uang, risiko yang cukup mengkhawatirkan adalah ancaman akan penurunan nilai uang. Penggerusan nilai uang ini terlalu banyak faktor yang bisa dijadikan alasan, padahal aspek utamanya adalah menurunnya nilai uang. Contoh paling sederhana soal inflasi ini adalah apabila uang bernominal Rp1.000 yang pada kemarin lusa bisa membeli dua butir telur, tapi hari ini hanya dapat ditukar dengan satu telur. Akibatnya untuk membeli dua butir telur kita harus mengeluarkan kocek Rp1.000 lagi. Kalau itu terjadi berarti sudah terjadi inflasi, turunnya nilai uang.

Penurunan nilai uang tersebut juga terjadi tidak saja untuk membeli produk, tapi juga dalam menggunakan jasa. Dalam kondisi saat ini, pemerintah mengatakan akan mempertahankan bahwa target inflasi dipatok pada bilangan lima persen. Itu berarti dalam berinvestasi, investor yang memiliki dana Rp1.000 saat ini harus bisa memperkerjakan uangnya itu dengan minimal penghasilan (return) di atas lima persen, sehingga pada akhir tahun nilai uang tersebut tetap bisa digunakan dan memiliki nilai yang sama pada saat ini. Nilai uang pada masa kini dan masa yang akan datang diharapkan bobot (nilai atau harganya) tetap sama. Artinya kalau saat ini bisa membeli telur satu butir maka tahun depan minimal nilainya tetap sama.

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus. Penyebab inflasi ini bisa berupa naiknya harga barang dan jasa, bisa juga karena turunnya nilai uang yang terjadi secara mekanis. Inflasi yang disebabkan karena naiknya harga barang, juga tidak bergerak sendirian. Bisa jadi karena bahan baku atas produk itu sulit didapat, seperti Bahan Bakar Minyak. Akibat tidak adanya subtitusi dari BBM ini dipastikan kenaikan harga BBM akan menyebabkan naiknya harga barang-barang dan jasa. Hal ini karena ketergantungan yang sangat tinggi atas produk yang bernama BBM ini. Inflasi lainnya adalah karena terlalu banyaknya uang yang beredar, sehingga secara mekanis akan mempengaruhi nilai uang. Untuk inflasi yang disebabkan banyak uang beredar, Bank Sentral bisa melakukan tindakan dengan cara membuat kebijakan meningkatkan suku bunga.

Peningkatan sukubunga ini dengan sendirinya akan menarik para pemilik dana untuk kembali memarkir dananya di perbankan. Kendati upaya tersebut harus diikuti oleh kebijakan lain, diantaranya membuat kebijakan guna terciptanya iklim investasi. Bagi pasar modal risiko inflasi ini akan sangat mempengaruhi keputusan investasi. Kalau inflasi tinggi, kita ibaratkan dalam setahun 10 persen, maka boleh jadi harga saham diciptakan oleh pasar itu sebenarnya sudah terdiskon sebesar 10 persen. Kalau harga saham Rp1.000 maka akibat inflasi yang 10 persen itu harga saham tersebut sebenarnya hanya Rp900.

Hitungan matematisnya kira-kira seperti itu, namun kalau kita mau mendalami lagi dampak inflasi terhadap pasar modal, kondisi yang sebenarnya terjadi akan bertambah kompleks. Kalau kita ibaratkan harga BBM mengalami kenaikan dengan begitu biaya produksi perusahaan akan mengalami kenaikan.

Belum lagi dampak dari BBM ini akan diikuti dengan melemahnya daya beli, sehingga barang yang diproduksi tidak akan laku terjual. Kalau hal itu yang terjadi maka bisa dipastikan pemutusan hubungan kerja, akibat pengurangan produksi hampir pasti akan dilakukan perusahaan, sehingga pada gilirannya ekspektasi investor saham atas saham perusahaan itu akan menurun.

Risiko tingkat sukubunga

Risiko tingkat sukubunga juga menjadi bayangan hitam bagi pelaku pasar. Tingkat bunga yang tinggi akan menjadikan perusahaan yang menjual sahamnya di bursa pasti juga akan kedodoran. Apalagi bagi perusahaan yang mendanai sebagian operasionalnya dengan pinjaman kredit. Dari sisi investasi fluktuasi tingkat sukubunga yang gonjang-ganjing akan membuat bingung iklim investasi.

Kalau tingkat sukubunga tinggi maka investor akan dengan senang hati untuk menempatkan dananya dalam bentuk deposito. Banyaknya uang yang masuk dalam deposito akan membuat dunia perbankan kebingungan menyalurkan dana pihak ketiga tersebut. Di sisi lain dana tersebut memang harus diputar ke sektor-sektor produktif kalau tidak ingin kinerja bank tersebut ambrol karena harus membayar bunga tinggi. Soal tinggi dan rendahnya tingkat sukubunga, bagi pasar yang penting bahwa tingkat bunga itu stabil tidak gonjang-ganjing dan kebijaksanaannya tidak situasional.

Risiko Pasar

Risiko pasar sering terjadi di pasar modal karena kondisi yang tidak bisa dijelaskan secara ekonomi. Sebagaimana yang kita ketahui, pasar merupakan gambaran paling kongkrit sikap investor terhadap suatu produk barang dan jasa, karenanya pasar sering dikatakan orang sebagai sesuatu yang paling rasional. Karenanya ekspektasi seseorang terhadap produk dan jasa tertentu akan berbeda dengan ekspektasi pasar.

Dalam kontek perdagangan saham, ketika ekspektasi atas saham secara jangka panjang naik, maka boleh jadi ekspektasi pasar atas saham pada saat pasar bereaksi justru turun. Karenanya bagi investor saham yang perlu dipahami bahwa investasi saham adalah investasi pada saham, sedangkan penciptaan harga saham yang dibuat pasar adalah harga yang terjadi pada saat selama pasar berlangsung.

Penyebab ekspektasi pasar berbeda dengan kondisi sebenarnya atas nilai saham, penyebabnya bisa beragam. Yang paling sederhana boleh jadi karena supply dan demand yang tidak seimbang. Ketika supply atas saham berlebih, sementara demand tetap maka dengan sendirinya harga saham akan turun.

Di pasar modal Indonesia sering terjadi begitu ada perusahaan yang akan melakukan penawaran umum (IPO) biasanya akan diikuti dengan penurunan indikator perdagangan. Turunnya indikator perdagangan itu lantaran investor menjual saham yang telah menjadi portofolionya untuk kemudian membeli saham yang akan IPO. Perilaku tersebut merupakan contoh yang paling sangat sederhana dari faktor risiko pasar. Tidak sama besarnya posisi supply dan demand ini juga terjadi apabila terjadi investor melakukan perubahan portofolio sebagaimana yang kerap terjadi pada akhir tahun dan awal tahun bursa saham.

Kondisi pasar saham yang terjadi sejak awal Januari hingga saat ini bisa kita anggap sebagai contoh yang paling kongkrit dari risiko pasar. Jadi sebenarnya, dalam aktivitas pasar modal sama sekali tidak ada risiko yang tidak terditeksi karena segala sesuatu risiko akan selalu berhubungan, terlebih lagi pasar merupakan mahluk yang paling rasional.

Source : okezone.com