Monday, October 20, 2008

Ny Djap (47) merasa hidupnya satu bulan terakhir ini supertegang. Bagaimana bisa tidur jika dalam waktu hanya dua pekan nilai sahamnya yang miliaran rupiah menyusut hingga 75 persen. Sulit tidur juga dialami Deddy Irianto (47), pemilik galeri seni rupa Langgeng Gallery, yang kehilangan ratusan juta rupiah hanya dalam sepekan. Kapok? Mereka bilang, tidak!
”Main saham itu setengahnya seperti judi, ada unsur ketagihan sehingga sulit berhenti,” kata Ny Djap sambil tertawa. Padahal, kerugian yang ia rasakan pada krisis finansial kali ini jauh lebih besar dibandingkan dengan krisis multidimensi tahun 1998. ”Kalau sekarang, sebagian besar keuntungan selama main saham melayang,” sambungnya lirih.

Belakangan, Djap sangat resah. Setiap hari ia memikirkan harga saham sampai-sampai enggan memasak dan berbenah rumah. Bayangkan, ”bermain” saham sudah menjadi pekerjaan utama, sementara suaminya tidak bekerja karena sakit. Ia bahkan pernah mengambil uang depositonya untuk bermain saham, padahal bunga deposito ia manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

”Bagaimana lagi, ini bisnis yang untungnya besar meski risiko tinggi. Istilahnya, kalau menang bisa makan ayam kalau kalah hanya bisa makan tempe,” tutur Djap.

Bicara kerugian

Kalau bicara kerugian saat gejolak finansial global kali ini, siapa sih yang tidak merugi? Dalam waktu singkat, indeks saham di semua bursa dunia anjlok ke level terendah dibandingkan dengan 3-5 tahun terakhir. Kompas mencatat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada 2007 naik 52,08 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Namun, sepanjang tahun ini, IHSG telah terkoreksi 47,13 persen, yang berarti sebesar itu pulalah merosotnya investasi di pasar saham Indonesia.

Pengusaha Budi Darmawan (37), sebut saja demikian, merugi sampai 50 persen dari nilai saham Rp 2 miliar. Roy Sembel (44), dosen, pengamat, dan juga praktisi ekonomi, pun merugi meski sedikit, lantaran awal tahun ini telah menjual 90 persen sahamnya yang miliaran rupiah itu untuk ditanamkan di perusahaan bidang riset politik milik temannya. ”Memang sulit tidur betulan,” cetus Budi.

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan penyakit insomnia dadakan ini? Deddy memilih menyenangkan hati dengan bermain golf, tenis lapangan, membaca buku, atau keluyuran alias traveling ke berbagai kota dalam dan luar negeri. Jadi, ia masih tetap bisa menikmati hidup.

Budi biasanya akan mengalihkan perhatian ke pekerjaan lain, mengurusi perusahaan riset politiknya. Ia akan mematikan komputer dan membiarkan saham-sahamnya ngendon, tidak dijual. ”Kalau lihat komputer, saya bisa-bisa panik dan pengin jual saham. Makanya, saya bertahan,” terangnya.

Apa bedanya investor saham dan penjudi? ”Kalau berjudi itu sekadar untung-untungan, tapi kalau main saham ada probabilitasnya, ada perhitungannya. Namun, dua-duanya sama-sama nyandu,” sahut Roy Sembel.

Roy memberi gambaran. Ia memulai jual-beli saham 15 tahun yang lalu sewaktu masih kuliah di Amerika Serikat. Modalnya, beberapa ribu dollar AS yang ia kumpulkan dari kerja paruh waktu dan uang beasiswa. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1997 dan masuk pasar finansial dengan modal 5.000 dollar AS. Kurs waktu itu sekitar Rp 2.500 per dollar AS. ”Dalam waktu dua tahun, portofolio saya membengkak,” kata Roy.

Roy sempat kehilangan semua sahamnya di bank pada tahun 1998, tetapi ia justru terlecut. Ia mengutak-atik kemungkinan dan angka, menganalisis pasar, hingga nilai sahamnya terus terdongkrak hingga mencapai miliaran rupiah.

Asyiknya berinvestasi di pasar finansial dirasakan pula oleh Dedhy Sulistiawan (32), yang mulai jual-beli saham sejak mahasiswa di Universitas Diponegoro. Waktu itu ia memakai uang tabungan hasil mengajar les privat Rp 2 juta. Sejak itu, suka-duka bermain saham ia alami, seperti roller coaster. Ia pernah membeli saham seharga Rp 975 per lembar, tetapi ternyata anjlok sampai Rp 25. Ia juga pernah menitip uang ke perusahaan sekuritas yang tidak lama kemudian bangkrut.

Budi, saat mencoba jual-beli saham pada tahun 1997, belum merasakan kesenangan. Main sedikit, kepentok, lalu mundur. Tahun 2000 ia memulai lagi. ”Banyak orang bilang, mencari duit di saham itu gampang,” kata bapak tiga anak ini. Tahun bonus ia rasakan pada tahun 2007, saat keuntungan yang ia dapat bisa untuk membeli rumah di Bogor dan mobil Mercy. Bagaimana tidak nyandu?

Deddy lebih lama lagi berinvestasi di pasar modal, sejak tahun 1985. Ia mulanya bermain saham lewat dealer di Chicago, New York, Amerika Serikat. Belakangan, dia lebih fokus main di Indonesia lewat perusahaan sekuritas. Baginya, permainan saham itu seperti riding on the cycle atau mengendarai sesuatu yang bundar.

”Kalau rugi, mulanya tidak bisa tidur berminggu-minggu. Namun, ada risk, ada return. Itu karakteristik yang semakin saya pahami,” katanya. Deddy kini lebih tenang lantaran sebagian uangnya telah ia pecah ke usaha lain, yakni bisnis seni rupa, dengan mendirikan Langgeng Gallery di Magelang dan Jakarta.

Transaksi di rumah

Di zaman serba online ini, investor rumahan menjamur. Mereka dapat bertransaksi di rumah masing-masing dengan koneksi internet. Untuk bisa bertransaksi secara online, investor harus membuka rekening di perusahaan sekuritas yang kini berjumlah lebih dari 140 itu. Ia akan mendapatkan identitas pengguna dan kata sandi, serta mengunduh sistem online trading lewat internet. Saat bertransaksi, ia tinggal mengklik order jual atau order beli dan akan langsung masuk ke sistem di Bursa Efek Indonesia.

Ini dilakukan Muhammad (39) yang ketika mahasiswa pernah menjadi floor trader di BEI.

Agar transaksi lancar, bapak dua anak ini menyewa server dari AS. Bahkan jika senggang, pria yang bekerja di perusahaan media ini ngeluyur ke Singapura untuk bertransaksi lantaran koneksi internet lebih bagus.

Karena kerap untung, Muhammad lantas dititipi uang oleh 57 temannya. ”Senang, tapi saya pernah rugi juga sampai Rp 1,7 triliun, saat harga minyak di atas 145 dollar AS per barel. Itu semua uang teman-teman,” katanya.

Barangkali ada benarnya jika berinvestasi itu sebaiknya disesuaikan dengan karakter diri kita.

Ny Djap juga memanfaatkan internet di rumahnya di Ancol, Jakarta untuk mengamati pasar. Namun, jika akan bertransaksi dia mengontak brokernya terlebih dahulu.

Sebelumnya, sepuluh tahun lalu, ia memilih menitipkan modal Rp 100 juta ke teman. Jika temannya membeli saham, ia ikut membeli dan kalau temannya menjual ia pun turut.

Kini, saham menjadi mainan sehari-hari Djap. Pagi hari, Djap mengaktifkan internet dan menonton televisi sambil membenahi rumah. Pukul 12.00-13.30, saat BEI beristirahat, ia memasak.
Ketika BEI tutup pada pukul 16.00, Djap kembali ke dapur untuk memasak. Sibuk nian, tapi asyik.

Berbeda dengan Deddy, Roy, Budi, Djap, Dedhy, dan Muhammad, pemilik Nadi Gallery di Jakarta Barat, Biantoro (48), memilih untuk tidak berinvestasi di pasar saham.

Pengalaman pada tahun 1995 memberinya pelajaran. ”Saya punya duit sedikit, masukkan, menang. Panas, tambah uang lagi, berhasil, nambah lagi,” katanya. Namun, setelah setahun, ia merugi ratusan juta rupiah. Ia pikir, dunia saham bukan dunianya. Ia tidak menyukai analisis njelimet yang dinilainya sering tidak masuk akal. Maka, ia pun memilih berbisnis seni rupa yang kasatmata dan bisa dinikmati.

”Saham-saham itu kalau sampai enggak ada harganya lalu ditempel di ruangan, rasanya juga enggak artistik,” ujarnya berkelakar. Wah....

Source : kompas.com