Wednesday, October 15, 2008
KRISIS industri keuangan di Amerika Serikat (AS) semakin meluas dalam beberapa bulan terakhir. Kita menyaksikan kebangkrutan bank investasi raksasa Lehman Brothers, pengakuisisian Bear Stearns dan Merrill Lynch, serta perubahan status Goldman Sach dan Morgan Stanley dari bank investasi menjadi holding companies bank.
Kita juga melihat upaya mem-bailout beberapa perusahaan keuangan lain, yaitu American International Group (AIG), Fannie Mae dan Freddie Mac. Pada beberapa bank komersial, terjadi pula krisis kepercayaan yang akhirnya memicu rush seperti terjadi pada Bank Indy Mac di California dan Washington Mutual di negara bagian Washington.
Washington Mutual merupakan bank lumayan besar. Jika dibandingkan dengan bank terbesar di Indonesia, yaitu Bank Mandiri, total asetnya 10 kali lebih besar. Bank itu akhirnya diakuisisi oleh JP Morgan Chase. Krisis di AS berawal dari masalah kredit perumahan. Kredit kepemilikan rumah (KPR) di negara itu awalnya berjalan baik lantaran ditujukan kepada nasabah-nasabah prima.
Namun dalam perkembangannya, pemberian kredit meluas kepada nasabah-nasabah yang kurang layak. Nasabah yang sebelumnya pernah mengalami kredit macet kembali memperoleh KPR baru. Demikian pula banyak KPR yang diberikan dengan persyaratan uang muka sangat rendah, yaitu 5 persen, atau bahkan tanpa uang muka sama sekali. Banyak pula KPR yang hanya mensyaratkan pembayaran bunga (interest only) dan tidak mewajibkan nasabah membayar cicilan pokok sama sekali.
Dalam keadaan harga properti yang terus naik, hal tersebut tidaklah memunculkan masalah. Namun dalam keadaan pasar yang mengalami stagnasi, atau bahkan terdapat kecenderungan harga melemah, hal itu akan memicu masalah. Kenapa masalah kredit macet kemudian menjalar ke bank-bank investasi?
Di AS, industri keuangan sudah sedemikian maju. Kredit-kredit KPR yang diberikan oleh perbankan, oleh bank bersangkutan dikumpulkan kemudian dalam jumlah yang cukup banyak disekuritisasi. Ini merupakan proses mentransformasi KPR menjadi surat berharga (sekuritas). Istilah yang sering dipergunakan untuk surat berharga yang dijamin oleh KPR tersebut adalah mortgage back securities (MBS) dengan varian yang bernama collateralized debt obligation (CDO).
Proses sekuritisasi ini dibantu oleh perusahaan pembiayaan perumahan AS, yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac, yang kemudian menjual MBS dan CDO tersebut ke bank-bank investasi maupun bank-bank besar lain seperti Citigroup dan UNS. Dalam perjalanan waktu, kualitas surat berharga tersebut sangat dipengaruhi perkembangan harga rumah. Jika harga rumah terus meningkat, pembayaran cicilan umumnya lancar.
Kalaupun terjadi masalah, bank dengan mudah akan menjual kembali rumah yang dibiayai KPR tersebut. Jika pembayaran dari nasabah lancar, pembayaran dari bank kepada pemegang MBS atau CDO tersebut juga lancar. Sejak pertengahan 2007, pembayaran dari sebagian nasabah KPR mulai batuk-batuk. Dengan demikian, pembayaran kepada pemilik MBS dan CDO tersebut juga batuk-batuk. Di sinilah permasalahan muncul.
Macetnya kredit tersebut akhirnya menyebabkan kualitas MBS dan CDO juga turun, sehingga harganya pun mulai berjatuhan. Para investor, baik bank komersial, bank investasi maupun perusahaan asuransi, akhirnya harus melakukan penyisihan atau bahkan menghapus nilai surat berharga yang terimbas kredit macet dalam jumlah besar. Keadaan tersebut diperparah oleh para spekulan yang melakukan short sales, sehingga harga-harga saham berjatuhan.
Di tengah-tengah kekisruhan itu muncul pula problem yang ditimbulkan oleh credit default swap (CDS) yang akhirnya menjadi monster dalam krisis keuangan ini. Keadaan ini menyebabkan pemerintah dan bank sentral AS harus melakukan pertolongan. Setelah pada awalnya dilakukan pertolongan kasus per kasus, yang hasilnya ternyata tidak terlalu konsisten, akhirnya pemerintah dan bank sentral mengusulkan program bailoutsenilai USD700 miliar.
Beban Utang
Upaya penyelamatan sebesar USD700 miliar semestinya menenangkan pasar. Ternyata jumlah tersebut menimbulkan keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan Pemerintah AS. Jumlah utang pemerintah pada saat penulisan artikel ini ternyata telah melampaui USD10 triliun dan setiap harinya bertambah USD2,6 miliar. Ini berarti bahwa rasio utang Pemerintah AS terhadap produk domestik bruto (PDB) mereka yang mencapai USD14 triliun adalah di atas 70 persen.
Dengan upaya penyelamatan tersebut, batas atas utang pemerintah akan ditetapkan sebesar USD11,3 triliun. Jika batas itu tercapai, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB akan mencapai sekira 80 persen dan akan terus meningkat. Pada masa pemerintahan yang akan datang, siapa pun presidennya, bukan tidak mungkin rasio utang meningkat menjadi 100 persen.
Dengan membandingkan masalah yang dihadapi perekonomian Jepang beberapa tahun lalu, bukan tidak mungkin masalah perekonomian di AS akan berkepanjangan. Saat sebelum terjadinya krisis, rasio utang Pemerintah Jepang terhadap PDB mereka mencapai 50 persen. Dalam hitungan 10 tahun, rasio tersebut telah meningkat dua kali lipat menjadi 100 persen di akhir 1999. Rasio terus meningkat sampai saat ini yang menimbulkan beban besar bagi Pemerintah Jepang.
Saat ini rasio utang Pemerintah AS telah mencapai 70 persen PDB, bahkan pada saat krisis belum mulai. Dengan masifnya krisis saat ini, rasio utang tersebut bisa melonjak hingga melampaui 100 persen dalam lima tahun mendatang. Jika hal itu terjadi, akan perlu waktu lama bagi Pemerintah AS untuk mengatasinya. Kita sungguh berharap krisis yang terjadi di AS tidak akan berkepanjangan dan tidak membawa dampak besar ke negara kita.
Namun, tidak ada salahnya jika kita mempersiapkan diri untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Langkah yang bisa dilakukan antara lain mendorong perkembangan ekonomi domestik, sehingga bisa bergerak lebih cepat dan mampu mengompensasi perlambatan yang mungkin terjadi di sisi ekspor. (*)
Source : okezone.com
Kita juga melihat upaya mem-bailout beberapa perusahaan keuangan lain, yaitu American International Group (AIG), Fannie Mae dan Freddie Mac. Pada beberapa bank komersial, terjadi pula krisis kepercayaan yang akhirnya memicu rush seperti terjadi pada Bank Indy Mac di California dan Washington Mutual di negara bagian Washington.
Washington Mutual merupakan bank lumayan besar. Jika dibandingkan dengan bank terbesar di Indonesia, yaitu Bank Mandiri, total asetnya 10 kali lebih besar. Bank itu akhirnya diakuisisi oleh JP Morgan Chase. Krisis di AS berawal dari masalah kredit perumahan. Kredit kepemilikan rumah (KPR) di negara itu awalnya berjalan baik lantaran ditujukan kepada nasabah-nasabah prima.
Namun dalam perkembangannya, pemberian kredit meluas kepada nasabah-nasabah yang kurang layak. Nasabah yang sebelumnya pernah mengalami kredit macet kembali memperoleh KPR baru. Demikian pula banyak KPR yang diberikan dengan persyaratan uang muka sangat rendah, yaitu 5 persen, atau bahkan tanpa uang muka sama sekali. Banyak pula KPR yang hanya mensyaratkan pembayaran bunga (interest only) dan tidak mewajibkan nasabah membayar cicilan pokok sama sekali.
Dalam keadaan harga properti yang terus naik, hal tersebut tidaklah memunculkan masalah. Namun dalam keadaan pasar yang mengalami stagnasi, atau bahkan terdapat kecenderungan harga melemah, hal itu akan memicu masalah. Kenapa masalah kredit macet kemudian menjalar ke bank-bank investasi?
Di AS, industri keuangan sudah sedemikian maju. Kredit-kredit KPR yang diberikan oleh perbankan, oleh bank bersangkutan dikumpulkan kemudian dalam jumlah yang cukup banyak disekuritisasi. Ini merupakan proses mentransformasi KPR menjadi surat berharga (sekuritas). Istilah yang sering dipergunakan untuk surat berharga yang dijamin oleh KPR tersebut adalah mortgage back securities (MBS) dengan varian yang bernama collateralized debt obligation (CDO).
Proses sekuritisasi ini dibantu oleh perusahaan pembiayaan perumahan AS, yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac, yang kemudian menjual MBS dan CDO tersebut ke bank-bank investasi maupun bank-bank besar lain seperti Citigroup dan UNS. Dalam perjalanan waktu, kualitas surat berharga tersebut sangat dipengaruhi perkembangan harga rumah. Jika harga rumah terus meningkat, pembayaran cicilan umumnya lancar.
Kalaupun terjadi masalah, bank dengan mudah akan menjual kembali rumah yang dibiayai KPR tersebut. Jika pembayaran dari nasabah lancar, pembayaran dari bank kepada pemegang MBS atau CDO tersebut juga lancar. Sejak pertengahan 2007, pembayaran dari sebagian nasabah KPR mulai batuk-batuk. Dengan demikian, pembayaran kepada pemilik MBS dan CDO tersebut juga batuk-batuk. Di sinilah permasalahan muncul.
Macetnya kredit tersebut akhirnya menyebabkan kualitas MBS dan CDO juga turun, sehingga harganya pun mulai berjatuhan. Para investor, baik bank komersial, bank investasi maupun perusahaan asuransi, akhirnya harus melakukan penyisihan atau bahkan menghapus nilai surat berharga yang terimbas kredit macet dalam jumlah besar. Keadaan tersebut diperparah oleh para spekulan yang melakukan short sales, sehingga harga-harga saham berjatuhan.
Di tengah-tengah kekisruhan itu muncul pula problem yang ditimbulkan oleh credit default swap (CDS) yang akhirnya menjadi monster dalam krisis keuangan ini. Keadaan ini menyebabkan pemerintah dan bank sentral AS harus melakukan pertolongan. Setelah pada awalnya dilakukan pertolongan kasus per kasus, yang hasilnya ternyata tidak terlalu konsisten, akhirnya pemerintah dan bank sentral mengusulkan program bailoutsenilai USD700 miliar.
Beban Utang
Upaya penyelamatan sebesar USD700 miliar semestinya menenangkan pasar. Ternyata jumlah tersebut menimbulkan keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan Pemerintah AS. Jumlah utang pemerintah pada saat penulisan artikel ini ternyata telah melampaui USD10 triliun dan setiap harinya bertambah USD2,6 miliar. Ini berarti bahwa rasio utang Pemerintah AS terhadap produk domestik bruto (PDB) mereka yang mencapai USD14 triliun adalah di atas 70 persen.
Dengan upaya penyelamatan tersebut, batas atas utang pemerintah akan ditetapkan sebesar USD11,3 triliun. Jika batas itu tercapai, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB akan mencapai sekira 80 persen dan akan terus meningkat. Pada masa pemerintahan yang akan datang, siapa pun presidennya, bukan tidak mungkin rasio utang meningkat menjadi 100 persen.
Dengan membandingkan masalah yang dihadapi perekonomian Jepang beberapa tahun lalu, bukan tidak mungkin masalah perekonomian di AS akan berkepanjangan. Saat sebelum terjadinya krisis, rasio utang Pemerintah Jepang terhadap PDB mereka mencapai 50 persen. Dalam hitungan 10 tahun, rasio tersebut telah meningkat dua kali lipat menjadi 100 persen di akhir 1999. Rasio terus meningkat sampai saat ini yang menimbulkan beban besar bagi Pemerintah Jepang.
Saat ini rasio utang Pemerintah AS telah mencapai 70 persen PDB, bahkan pada saat krisis belum mulai. Dengan masifnya krisis saat ini, rasio utang tersebut bisa melonjak hingga melampaui 100 persen dalam lima tahun mendatang. Jika hal itu terjadi, akan perlu waktu lama bagi Pemerintah AS untuk mengatasinya. Kita sungguh berharap krisis yang terjadi di AS tidak akan berkepanjangan dan tidak membawa dampak besar ke negara kita.
Namun, tidak ada salahnya jika kita mempersiapkan diri untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Langkah yang bisa dilakukan antara lain mendorong perkembangan ekonomi domestik, sehingga bisa bergerak lebih cepat dan mampu mengompensasi perlambatan yang mungkin terjadi di sisi ekspor. (*)
Source : okezone.com
Labels: Global Crisis