Sunday, October 12, 2008
APA yang ditulis Paul Krugman dalam buku The Return of Depression Economics(1999) ternyata kini terbukti. Dalam buku yang dinilai banyak kalangan sebagai buku bernuansa pesimistis, Krugman menulis, "The world economy has turned out to be a much more dangerous place than we imagined".
Gelombang krisis ekonomi bermula di negara-negara pinggiran seperti Meksiko (1995), Asia Timur (1997- 1998), Brasil dan Rusia (1999-2000), serta terus berlanjut mendekati episentrum ekonomi dunia. Sejak Juli 2007, pasar saham dunia sudah bergejolak hebat akibat krisis kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat. Dan bulan-bulan ini kita disuguhi rangkaian keambrukan korporasi AS seperti Bear Stearns, Northern Rock, Fannie Mae, Freddie Mac, dan Lehman Brothers.
Sejumlah perusahaan lain juga sedang dihantui masalah berat, seperti Merril Lynch, AIG, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley. Seperti diberitakan, untuk menyelamatkan sektor korporasi ini, Pemerintah AS menyediakan paket penyelamatan sekitar USD700 miliar (sekitar Rp6.600 triliun). Bila tidak dilakukan penyelamatan segera, pasar keuangan global dipastikan akan rontok dan ekonomi dunia terjerembap dalam krisis yang lebih hebat dibanding Depresi Besar tahun 1930-an.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Dalam buku lain, The Great Unraveling (2004), Krugman menulis munculnya ekonomi balon (bubbles economy) yang disebabkan tujuh ulah investor global, yaitu berpikir jangka pendek (think short term), rakus (be greedy), dan percaya banyak orang lain yang bodoh (believe in the greater fool), Lalu, ikut isyarat kerumunan (run with the herd), gampang menyederhanakan masalah (overgeneralize), suka mempropagandakan keyakinan (be trendy), dan bermain menggunakan uang orang lain (play with other people's money).
Perilaku investor di pasar keuangan seolah menjanjikan ilusi keuntungan tanpa batas. Dalam ekonomi "kertas mengejar kertas", berbagai produk turunan (derivatives) dapat diciptakan untuk memberi kesan bahwa sukses keuangan dapat diciptakan di alam maya (abstrak) dan tidak harus didukung aset riil yang mendasarinya (underlying assets). Yang terjadi kemudian adalah paradigma Charles Ponzi, menggunakan uang dari investor baru untuk membayar investor lama, dengan tingkat sofistikasi yang tinggi.
Sebelum ini banyak pihak telah mengingatkan soal munculnya kecenderungan ekonomi global menuju ekonomi kasino yang sarat dengan spekulasi. Alan Greenspan (1996) menyebut adanya irasionalitas ugal-ugalan (irrational exuberance) yang mendorong nilai-nilai aset mengalami penggelembungan hebat. Tingkat bunga yang rendah dan likuiditas pendanaan yang besar telah mendorong lahirnya pemburu-pemburu perusahaan (corporate raiders) yang dalam proses akuisisinya selalu menjanjikan tingkat imbalan lebih tinggi kepada para investor.
Begitu balon ekonomi tersebut meletus, kerugian yang diderita juga dahsyat. Kejatuhan indeks bursa di Jepang dalam satu pekan, bernilai sama dengan nilai pasar dari jumlah barang dan jasa yang dihasilkan ekonomi Rusia dalam satu tahun. Indeks harga saham bursa Indonesia, yang pada 2007 meningkat 52 persen dan sempat diharapkan naik lagi 30 persen pada 2008, tiba-tiba terpangkas lebih dari 30 persen, dan kapitalisasinya menguap sekitar Rp500 triliun.
Yang mengkhawatirkan untuk kita adalah apabila penurunan indeks tersebut disertai penarikan besar-besaran dana investasi (rush) dan pelarian uang ke luar (capital outflow). Untuk mengatasi persoalan ini, biasanya pemerintah menaikkan tingkat bunga dan melakukan intervensi menjaga nilai rupiah. Muncul dilema di sini: tingkat bunga rendah bisa mendorong terjadinya pelarian modal, sedangkan tingkat bunga yang tinggi akan memukul sektor riil. Tingkat inflasi yang tinggi (Januari- Agustus 2008 mencapai 9,4 persen), juga mempersempit pilihan kebijakan.
Harus kita akui, meski kita selalu menyebut secara fundamental makroekonomi kita kuat, pengaruh faktor eksternal masih sedemikian besar. Kita terus-menerus dibuat tegang oleh naik-turunnya harga minyak dan perubahan tingkat bunga di AS (Fed Rate). Kinerja makroekonomi kita lebih merupakan turunan dari kinerja ekonomi regional yang pada gilirannya masih terkait dengan kinerja ekonomi AS. Pernyataan bahwa ekonomi Asia mulai "terlepas kaitan" dengan ekonomi AS, sama sekali tidak terbukti dalam gejolak ekonomi yang terjadi belakangan.
Gejolak krisis kali ini kembali membuktikan bahwa pemerintah pada akhirnya muncul sebagai penyelamat ekonomi saat sektor korporat swasta bermasalah. Sektor properti yang selalu disebut sebagai sektor yang melahirkan orang-orang kaya baru, juga berkali-kali terbukti menjadi sektor yang menyeret timbulnya krisis keuangan. Dengan demikian, krisis yang terjadi sesungguhnya merupakan penalti dari ayunan bandul yang berlebihan di masa sebelumnya.
Adakah kapitalisme global sedang mengalami krisis hebat seperti yang berkali-kali dikatakan George Soros? Natura non facit saltum (alam tak pernah membuat lompatan). Koreksi mendasar tampaknya harus segera dilakukan agar sistem ekonomi global berevolusi menuju sistem ekonomi yang lebih manusiawi. Kalau tidak, seperti yang dikatakan Krugman pada awal tulisan ini, ekonomi dunia memang sedang bergerak ke arah yang lebih berbahaya. (*)
Source : okezone.com
Gelombang krisis ekonomi bermula di negara-negara pinggiran seperti Meksiko (1995), Asia Timur (1997- 1998), Brasil dan Rusia (1999-2000), serta terus berlanjut mendekati episentrum ekonomi dunia. Sejak Juli 2007, pasar saham dunia sudah bergejolak hebat akibat krisis kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat. Dan bulan-bulan ini kita disuguhi rangkaian keambrukan korporasi AS seperti Bear Stearns, Northern Rock, Fannie Mae, Freddie Mac, dan Lehman Brothers.
Sejumlah perusahaan lain juga sedang dihantui masalah berat, seperti Merril Lynch, AIG, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley. Seperti diberitakan, untuk menyelamatkan sektor korporasi ini, Pemerintah AS menyediakan paket penyelamatan sekitar USD700 miliar (sekitar Rp6.600 triliun). Bila tidak dilakukan penyelamatan segera, pasar keuangan global dipastikan akan rontok dan ekonomi dunia terjerembap dalam krisis yang lebih hebat dibanding Depresi Besar tahun 1930-an.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Dalam buku lain, The Great Unraveling (2004), Krugman menulis munculnya ekonomi balon (bubbles economy) yang disebabkan tujuh ulah investor global, yaitu berpikir jangka pendek (think short term), rakus (be greedy), dan percaya banyak orang lain yang bodoh (believe in the greater fool), Lalu, ikut isyarat kerumunan (run with the herd), gampang menyederhanakan masalah (overgeneralize), suka mempropagandakan keyakinan (be trendy), dan bermain menggunakan uang orang lain (play with other people's money).
Perilaku investor di pasar keuangan seolah menjanjikan ilusi keuntungan tanpa batas. Dalam ekonomi "kertas mengejar kertas", berbagai produk turunan (derivatives) dapat diciptakan untuk memberi kesan bahwa sukses keuangan dapat diciptakan di alam maya (abstrak) dan tidak harus didukung aset riil yang mendasarinya (underlying assets). Yang terjadi kemudian adalah paradigma Charles Ponzi, menggunakan uang dari investor baru untuk membayar investor lama, dengan tingkat sofistikasi yang tinggi.
Sebelum ini banyak pihak telah mengingatkan soal munculnya kecenderungan ekonomi global menuju ekonomi kasino yang sarat dengan spekulasi. Alan Greenspan (1996) menyebut adanya irasionalitas ugal-ugalan (irrational exuberance) yang mendorong nilai-nilai aset mengalami penggelembungan hebat. Tingkat bunga yang rendah dan likuiditas pendanaan yang besar telah mendorong lahirnya pemburu-pemburu perusahaan (corporate raiders) yang dalam proses akuisisinya selalu menjanjikan tingkat imbalan lebih tinggi kepada para investor.
Begitu balon ekonomi tersebut meletus, kerugian yang diderita juga dahsyat. Kejatuhan indeks bursa di Jepang dalam satu pekan, bernilai sama dengan nilai pasar dari jumlah barang dan jasa yang dihasilkan ekonomi Rusia dalam satu tahun. Indeks harga saham bursa Indonesia, yang pada 2007 meningkat 52 persen dan sempat diharapkan naik lagi 30 persen pada 2008, tiba-tiba terpangkas lebih dari 30 persen, dan kapitalisasinya menguap sekitar Rp500 triliun.
Yang mengkhawatirkan untuk kita adalah apabila penurunan indeks tersebut disertai penarikan besar-besaran dana investasi (rush) dan pelarian uang ke luar (capital outflow). Untuk mengatasi persoalan ini, biasanya pemerintah menaikkan tingkat bunga dan melakukan intervensi menjaga nilai rupiah. Muncul dilema di sini: tingkat bunga rendah bisa mendorong terjadinya pelarian modal, sedangkan tingkat bunga yang tinggi akan memukul sektor riil. Tingkat inflasi yang tinggi (Januari- Agustus 2008 mencapai 9,4 persen), juga mempersempit pilihan kebijakan.
Harus kita akui, meski kita selalu menyebut secara fundamental makroekonomi kita kuat, pengaruh faktor eksternal masih sedemikian besar. Kita terus-menerus dibuat tegang oleh naik-turunnya harga minyak dan perubahan tingkat bunga di AS (Fed Rate). Kinerja makroekonomi kita lebih merupakan turunan dari kinerja ekonomi regional yang pada gilirannya masih terkait dengan kinerja ekonomi AS. Pernyataan bahwa ekonomi Asia mulai "terlepas kaitan" dengan ekonomi AS, sama sekali tidak terbukti dalam gejolak ekonomi yang terjadi belakangan.
Gejolak krisis kali ini kembali membuktikan bahwa pemerintah pada akhirnya muncul sebagai penyelamat ekonomi saat sektor korporat swasta bermasalah. Sektor properti yang selalu disebut sebagai sektor yang melahirkan orang-orang kaya baru, juga berkali-kali terbukti menjadi sektor yang menyeret timbulnya krisis keuangan. Dengan demikian, krisis yang terjadi sesungguhnya merupakan penalti dari ayunan bandul yang berlebihan di masa sebelumnya.
Adakah kapitalisme global sedang mengalami krisis hebat seperti yang berkali-kali dikatakan George Soros? Natura non facit saltum (alam tak pernah membuat lompatan). Koreksi mendasar tampaknya harus segera dilakukan agar sistem ekonomi global berevolusi menuju sistem ekonomi yang lebih manusiawi. Kalau tidak, seperti yang dikatakan Krugman pada awal tulisan ini, ekonomi dunia memang sedang bergerak ke arah yang lebih berbahaya. (*)
Source : okezone.com
Labels: Global Crisis