Saturday, October 11, 2008
WASHINGTON. Dalam dua minggu terakhir, Wall Street diserang tsunami finansial. Pertama, Lehman Brothers yang merupakan bank investasi terbesar ke-4 di AS, bangkrut. Tak lama setelah itu, rekan sejawatnya Merrill Lynch, menyerah ke pelukan Bank of America. AIG kemudian menyusul. Perusahaan asuransi dunia ini hampir kolaps dan menerima suntikan The Fed. Terakhir, Washinghton Mutual menjadi bank terbesar yang bangkrut sepanjang sejarah Amerika.
Sebenarnya, bagaimana awal mula krisis sedahsyat ini terjadi?
Untuk menjawabnya, mari kita mundur ke belakang. Perekonomian AS pernah memasuki masa Great Depression pada 1929 silam. Kala itu, bursa saham AS sangat kacau-balau. Selama bertahun-tahun, bank AS kesulitan dana tunai atau seret likuiditas. Akibatnya, banyak bank tidak bisa menyalurkan pinjaman.
Lantas, pada 1938, Presiden Roosevelt membentuk Federal National Mortgage Association (Fannie Mae) untuk membeli kredit perumahan (KPR) dari bank. Dari situ, bank memperoleh uang untuk memberikan pinjaman ke nasabahnya.
Pemerintah kemudian mengubah Fannie Mae menjadi perusahaan swasta. Untuk menciptakan kompetisi, pemerintah membentuk Federal Home Loan Mortgage Corporation (Freddie Mac).
Fannie dan Freddie membeli KPR dari bank, membundelnya menjadi produk baru bernama Mortgage Back Securities (MBS). Lantas, mereka menjual MBS itu lagi sebagai produk investasi ke berbagai lembaga keuangan di Wall Street. Sebut saja Lehman, Morgan Stanley, Merrill, dan rekan sejawatnya yang lain.
Pada perkembangannya, bank bisa menjual kumpulan KPR-nya langsung ke lembaga keuangan. Bank juga mengasuransikan kreditnya itu.
Nah, para lembaga investasi itu membuat produk investasi baru lagi dari MBS. Namanya, Collateral Debt Obligation (CDO). Mereka pun menjual CDO ini kepada investor institusi seperti hedge fund dan dana pensiun.
Agar lebih aman, lembaga investasi itu lalu mengasuransikan CDO dengan membeli produk derivatif bernama Credit Default Swap (CDS). CDS berfungsi sebagai lindung nilai jika CDO itu macet. Masalahnya, CDS itu pun diperjualbelikan di Wall Street sebagai produk investasi.
Bingung? Kita pakai contoh yang gampang saja. Seorang karyawan bernama John mengajukan KPR senilai US$ 100.000 kepada bank untuk membeli rumah. Lantas, bank yang mengucurkan KPR buat John, menjual KPR John tadi ke lembaga investasi, katakanlah Goldman Sachs. Goldman lalu membundel KPR John bersama KPR lainnya dan menjualnya dalam bentuk surat berharga. Nah, Goldman ingin melindungi diri dari gagal bayar KPR itu, maka ia membeli credit default swap dari perusahaan asuransi.
Masalah muncul ketika John tak mampu membayar KPR-nya karena bunga AS terus naik. Karena kualitas kreditnya buruk, maka John digolongkan sebagai peminjam subprime.
Bayangkan saja, kalau John meminjam pada Desember 2002, bunga Fed masih 1,24%. Bunga itu bertahan rendah hingga bertahun-tahun. Dengan bunga yang rendah, orang makin keranjingan meminjam kredit, termasuk meminjam KPR. Dus, waktu itu AS mengalami booming properti.
Tapi, suku bunga takkan terus-terusan rendah. Suku bunga AS kembali menanjak, perlahan-lahan hingga mencapai 5,25% di Juni 2006. Sialnya, suku bunga mentok di angka itu dalam waktu lama, yakni 14 bulan. Bayangkan, betapa puyeng kepala John dan para pengutang lainnya.
Gelembung properti AS pun meletus. Orang menjulukinya sebagai krisis subprime mortgage. Krisis itu tak berhenti sampai di bisnis properti saja. Dari cerita di atas, Anda tentu paham bahwa krisis itu menyeret satu lembaga keuangan ke lembaga keuangan lainnya. Hasilnya, ya, seperti sekarang ini. Wall Street pun tumbang.
Source : www.kontan.co.id
Sebenarnya, bagaimana awal mula krisis sedahsyat ini terjadi?
Untuk menjawabnya, mari kita mundur ke belakang. Perekonomian AS pernah memasuki masa Great Depression pada 1929 silam. Kala itu, bursa saham AS sangat kacau-balau. Selama bertahun-tahun, bank AS kesulitan dana tunai atau seret likuiditas. Akibatnya, banyak bank tidak bisa menyalurkan pinjaman.
Lantas, pada 1938, Presiden Roosevelt membentuk Federal National Mortgage Association (Fannie Mae) untuk membeli kredit perumahan (KPR) dari bank. Dari situ, bank memperoleh uang untuk memberikan pinjaman ke nasabahnya.
Pemerintah kemudian mengubah Fannie Mae menjadi perusahaan swasta. Untuk menciptakan kompetisi, pemerintah membentuk Federal Home Loan Mortgage Corporation (Freddie Mac).
Fannie dan Freddie membeli KPR dari bank, membundelnya menjadi produk baru bernama Mortgage Back Securities (MBS). Lantas, mereka menjual MBS itu lagi sebagai produk investasi ke berbagai lembaga keuangan di Wall Street. Sebut saja Lehman, Morgan Stanley, Merrill, dan rekan sejawatnya yang lain.
Pada perkembangannya, bank bisa menjual kumpulan KPR-nya langsung ke lembaga keuangan. Bank juga mengasuransikan kreditnya itu.
Nah, para lembaga investasi itu membuat produk investasi baru lagi dari MBS. Namanya, Collateral Debt Obligation (CDO). Mereka pun menjual CDO ini kepada investor institusi seperti hedge fund dan dana pensiun.
Agar lebih aman, lembaga investasi itu lalu mengasuransikan CDO dengan membeli produk derivatif bernama Credit Default Swap (CDS). CDS berfungsi sebagai lindung nilai jika CDO itu macet. Masalahnya, CDS itu pun diperjualbelikan di Wall Street sebagai produk investasi.
Bingung? Kita pakai contoh yang gampang saja. Seorang karyawan bernama John mengajukan KPR senilai US$ 100.000 kepada bank untuk membeli rumah. Lantas, bank yang mengucurkan KPR buat John, menjual KPR John tadi ke lembaga investasi, katakanlah Goldman Sachs. Goldman lalu membundel KPR John bersama KPR lainnya dan menjualnya dalam bentuk surat berharga. Nah, Goldman ingin melindungi diri dari gagal bayar KPR itu, maka ia membeli credit default swap dari perusahaan asuransi.
Masalah muncul ketika John tak mampu membayar KPR-nya karena bunga AS terus naik. Karena kualitas kreditnya buruk, maka John digolongkan sebagai peminjam subprime.
Bayangkan saja, kalau John meminjam pada Desember 2002, bunga Fed masih 1,24%. Bunga itu bertahan rendah hingga bertahun-tahun. Dengan bunga yang rendah, orang makin keranjingan meminjam kredit, termasuk meminjam KPR. Dus, waktu itu AS mengalami booming properti.
Tapi, suku bunga takkan terus-terusan rendah. Suku bunga AS kembali menanjak, perlahan-lahan hingga mencapai 5,25% di Juni 2006. Sialnya, suku bunga mentok di angka itu dalam waktu lama, yakni 14 bulan. Bayangkan, betapa puyeng kepala John dan para pengutang lainnya.
Gelembung properti AS pun meletus. Orang menjulukinya sebagai krisis subprime mortgage. Krisis itu tak berhenti sampai di bisnis properti saja. Dari cerita di atas, Anda tentu paham bahwa krisis itu menyeret satu lembaga keuangan ke lembaga keuangan lainnya. Hasilnya, ya, seperti sekarang ini. Wall Street pun tumbang.
Source : www.kontan.co.id
Labels: Global Crisis