Wednesday, December 3, 2008

Soal akuntansi memang akan menjadi fokus berikutnya. Apalagi ini menjelang tutup tahun. Semua perusahaan sudah harus menutup laporan keuangannya. Salah satu kesulitan terbesar lagi adalah: bagaimana perusahaan-perusahaan yang terkena krisis tersebut menutup bukunya akhir Desember nanti. Terutama kalau prinsip akuntansi "mark to market" (MTM)harus dijalankan. Bisa dibayangkan, bagaimana perusahaan yang harga sahamnya tinggal 5 persen harus menutup buku laporan keuangannya nanti.

Mark to market adalah prinsip akutansi yang harus mencatat nilai perusahaan sesuai dengan harga pasar saat itu. Tentu banyak perusahaan yang tiba-tiba saja nilai kekayaannya sudah tidak cukup untuk membayar utangnya. Tanpa ada krisis pun, selama ini, ada kecenderungan perusahaan "menggoreng" saham di akhir tahun. Tujuannya, ketika tutup buku, nilai kekayaan perusahaannya bisa dibukukan lebih tinggi. Terutama perusahaan yang utangnya sangat besar. Maksudnya, agar "rapor" perbandingan antara utang dan kekayaan masih dalam posisi ideal. Dengan krisis sekarang ini, pasti goreng-menggoreng tidak akan bisa dilakukan. Apinya tidak ada lagi.

Perusahaan yang baik harus punya utang. Perusahaan yang tidak punya utang dianggap kurang baik. Tidak bisa memanfaatkan dana pihak ketiga untuk meraih kemajuan yang lebih besar. Juga kurang baik dalam menyusun perencanaan pajaknya karena uang untuk membayar bunga adalah biaya yang bisa mengurangi pajak penghasilan.

Tapi, utang terlalu besar juga tidak baik karena perusahaan bisa terancam tidak mampu membayar bunga/pokok. Akibatnya bisa panjang. Bunga itu terus berbunga: tidak mengenal musim hujan atau musim kemarau. Bahkan, ketika hari minggu pun, bunga terus berjalan. Kalau itu yang terjadi, nilai utangnya sudah lebih besar daripada kekayaannya. Sebutan untuk perusahaan seperti itu hanya satu: bangkrut!

Karena itu, perusahaan yang baik selalu menjaga jumlah utangnya paling tinggi 2:1. Artinya, kalau kekayaannya Rp 1 triliun, paling banyak hanya boleh berutang Rp 2 triliun. Tentu, yang paling ideal adalah kalau utangnya sedikit lebih kecil daripada kekayaannya. Jika kekayaannya Rp 1 triliun, kalau bisa utangnya cukup Rp 800 miliar saja. Perbandingannya masih kurang dari 1:1.

Besarnya kekayaan sebuah perusahaan bisa dilihat dari harga saham dikalikan jumlah saham. Contohnya Jawa Pos (ini hanya untuk memudahkan pengertian dan agar tidak perlu mengambil contoh perusahaan lain yang mungkin kurang berkenan): jumlah saham Jawa Pos, misalnya, 200.000.000
lembar. Harga per lembar sahamnya (karena Jawa Pos belum go public, maka saya saja yang menetapkan harga sahamnya), katakanlah, Rp 10.000/lembar. Maka, nilai kekayaan Jawa Pos adalah Rp 2 triliun. Utangnya, katakanlah, Rp 500 miliar.

Tiba-tiba harga saham Jawa Pos merosot menjadi tinggal Rp 1.000/lembar. Itu berarti nilai kekayaan Jawa Pos tinggal (200.000.000 lembar x Rp1.000) Rp 200 miliar. Utangnya tentu tidak ikut merosot alias tetap Rp 500 miliar. Perusahaan seperti ini langsung dikatakan bangkrut.

Dengan adanya krisis ini, terlalu banyak perusahaan yang kekayaannya tiba-tiba merosot drastis. Banyak perusahaan yang dalam satu malam kehilangan separo kekayaannya. Hilang begitu saja. Kalau dicuri, jelas siapa pencuri yang tiba-tiba kaya. Kalau ditipu, jelas siapa yang menipu dan di mana uang hasil tipuan itu dia simpan. Kalau hilang di meja judi, jelas siapa bandar yang merampok uangnya itu. Tapi, dalam krisis ini, kekayaan melayang begitu saja. Seperi parfum Channel 5 yang tutupnya terbuka.

Salah satu yang paling dramatis adalah yang menimpa Zhang Yin, wanita terkaya di seluruh Tiongkok. Kekayaan perusahaannya, pabrik kertas terbesar di dunia, tiba-tiba saja zoooom, turun dari USD 3,6 triliun menjadi tinggal USD 265 miliar. Kekayaannya tinggal 10 persen dari puncak kejayaannya. (Lihat seri selanjutnya tulisan ini).

Semua perusahaan yang kekayaannya tiba-tiba zooom seperti itu, pasti ratio utangnya menjadi amat jelek. Bukan lagi 2:1, tapi bisa-bisa sudah banyak yang 3:1. Perusahaan seperti itulah yang tentu diancam disita oleh kreditornya. Tentu masih ada harapan. Harapan yang terbesar adalah harga sahamnya tiba-tiba naik. Karena itu, banyak perusahaan seperti itu selalu mengolor waktu setiap diajak berunding oleh kreditornya. Bahasa Inggris menggambarkannya dengan lebih baik: buying time. Membeli waktu. Dalam keadaan seperti itu, nilai waktu satu hari bisa triliunan. Tentu dengan harapan kian hari harga saham kian baik sehingga posisi tawar-menawarnya dengan pemberi utang berubah.

Misalnya, Anda telanjur menyerahkan kekayaan Anda kepada pemberi utang berdasar harga saham Rp 1.000/lembar. Tiba-tiba seminggu lagi harga saham itu sudah Rp 2.000/lembar. Dalam kasus Zhang Yin atau juga Grup Bakrie, selisih Rp 1.000/lembar itu bisa bernilai sampai Rp 20 triliun. Alangkah menyesalnya Anda bila kemudian tahu bahwa kalau saja perundingan bisa diolor satu minggu lagi, maka Anda bisa menyelamatkan uang Rp 20 triliun!

Tentu, itu kalau nasibnya baik. Kalau nasib lagi jelek, menunggu satu minggu itu bisa berarti menunggu kejatuhan harga saham berikutnya. Yang semula berharap bisa menyelamatkan Rp 20 triliun bisa-bisa kehilangan tambahan Rp 10 triliun. Saat-saat kapan membuat keputusan seperti itulah yang tidak ada sekolahnya. Bisa saja yang semula dimaksudkan buying time menjadi selling time! Misalnya yang dialami Larry Yeung, orang terkaya nomor 9 di Tiongkok yang menunggu naiknya kurs dolar Australia. Dia bermaksud buying time, tapi menghasilkan bencana besar karena kurs dolar Australia yang dia tunggu selama enam minggu ternyata masih juga terus merosot. Dia kehilangan kekayaan yang fantastis jumlahnya.

Maka, saya bisa bayangkan betapa sibuknya para akuntan di masa krisis ini, khususnya menghadapi tutup buku akhir Desember depan. Akuntan, di samping lawyer, adalah profesi yang akan sangat diperlukan hari-hari ini. Akuntan juga yang dulu mengesahkan CDS, STO, dan sebangsanya yang mengakibatkan keruwetan krisis saat ini. Maka, akuntan juga yang kini harus membereskan segala keruwetan itu bagaimana menatanya di buku laporan keuangan.

Tentu, harus dicari cara bagaimana MTM bisa dilaksanakan tanpa mengakibatkan keruwetan baru. Yakni keruwetan berupa terlalu banyaknya perusahaan (termasuk yang sudah terlanjur dibeli pemerintah Amerika, Inggris, dan lain-lain) yang nilai kekayaannya minus. Atau, sebaliknya, bagaimana mencatat bonds (obligasi atau surat utang) yang nilainya tinggal 50 persen. Sebab, bisa jadi, bonds yang demikian menimbulkan laba, yang meski fatamorgana, tapi sangat diperlukan saat ini.

Ataukah harus memindahkan kerugian menjadi investasi jangka panjang (100 tahun? Ha... ha... ha...).

Bagaimana melaksanakan prinsip MTM di saat seperti sekarang ini, bisa jadi, juga memerlukan fatwa dari seluruh kepala negara di dunia. Saya sempat menyesal mengapa selama ini hanya mengurus perusahaan dengan sistem akuntansi yang sederhana. Kalau saja saya ikut yang ruwet-ruwet seperti itu, mungkin saya bisa lebih kaya. Atau, saya sudah ikut bangkrut. Hidup ternyata adalah keruwetan! (*)

By : Dahlan Iskan

source :[junior_Trader]"Newsmaster"
email : newsmaster@warnet2000.net